Memperkarakan Narasumber Sama Dengan Cawe-cawe Terhadap Kemerdekaan Pers!

Untuk melindungi kemerdekaan pers dari cawe-cawe atau intervensi, narasumber media (pers) bukan pihak yang dapat diperkarakan. Upaya (kekuasaan) memperkarakan narasumber merupakan perbuatan sia-sia. Itu pertanda yang bersangkutan belum paham aturan hukumnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Rustam Fachri Mandayun

Memang bukan orang yang pertama, namun Menteri Investasi Indonesia Bahlil Lahadalia menjadi orang terbaru yang mengadukan narasumber media ke penegak hukum. Selasa lalu, 19 Maret 2024, Bahlil mendatangi Mabes Polri untuk mengadukan narasumber berita media Tempo, yang menulis tentang dugaan penyelewenangan pencabutan dan pemulihan ribuan izin usaha penambangan (IUP).

Majalah Tempo, edisi 4-10 Maret menurunkan laporan utama berjudul Main Upeti Izin Tambang, serta menyiarkan siniar di Bocor Alus Politik (BAP) yang berjudul Dugaan Permainan Izin Tambang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Bahlil melaporkan narasumber tersebut dengan pasal pencemaran nama baik. (Baca di Tempo.co: Bahlil Laporkan Narasumber Tempo ke Polisi dalam Kisruh Pencabutan IUP)

Bahlil menganggap narasumber di liputan itu telah mencemarkan nama baiknya. Ia mengaku dirugikan. Terkait dengan daftar nama yang dilaporkan, Bahlil menyebut telah melaporkan sejumlah nama di internal Kementerian Investasi serta nama yang lain untuk diminta keterangan polisi.

Pelaporan Bahlil ini mengingatkan pada Keputusan Mahkamah Agung no.646 K/ Pid.Sus/2019 dengan terdakwa seorang pengacara bernama Mohammad Amrullah S.H., M.Hum., yang menjadi narasumber media atau pers pada sebuah peristiwa. Dalam amar-nya Mahkamah Agung membebaskan Mohammad Amrullah dari dakwaan pencemaran nama baik.

Dalam pertimbangannya MA menyatakan narasumber berita tidak bisa dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik di UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Majelis Kasasi yang diketuai oleh Hakim Agung, H. Andi Samsan Nganro tersebut, dalam Kaidahnya, menyatakan: “Orang yang diwawancara kemudian diliput, disiarkan dan ditulis bukanlah perbuatan mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan /atau dokumen elektronik selama ia tidak secara langsung memasukkannya ke dalam sistem elektronik. Pertanggungjawaban atas karya jurnalistik berada pada pengelola media bukan narasumber (dikutip dari “MA: Narasumber Berita Tak Bisa Dikenai Pasal Pencemaran Nama baik,” detiknews.com, 29 Desember 2023,). Keputusan tersebut berkekuatan hukum tetap.

Tulisan atau berita tentang Bahlil terkait dugaan penyelewenangn Izin Usaha Penanambangan di grup media Tempo, juga disiarkan secara digital di platform yang Tempo miliki, khusunya di siniar (podcast) Bocor Alus Politik (BAP). Maka perlu melihat kedudukan hukum sebuah karya jurnalistik dalam kaitannya dengan UU Iinformatika dan Transaksi Elektronik (ITE). Semangat untuk menjaga agar kemerdekaan pers bebas dari cawe-cawe atau intervensi pihak-pihak di luar pers, tercermin pula di Keputusan Bersama tiga lembaga negara di bawah ini.

Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika RI., Jaksa Agung RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 229 Tahun 2021, Nomor 154 Tahun 2021 dan Nomor KB/2/VI/2021 tentang pedoman implementasi atas pasal tertentu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang infomasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi elektronik, seiring sejalan dengan semangat menjaga kemerdekaan pers.

Dalam Keputusan Bersama tersebut, implementasi terkait Pasal 27 ayat (3), yang berbunyi: ” Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan / atau pencemaran nama baik; Dalam Pedoman Implementasi, huruf (l), dinyatakan:

”Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebagai lex specialis , bukan Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers. Tetapi jika wartawan secara pribadi mengunggah tulisan pribadinya di media sosial atau internet, maka tetap berlaku UU ITE termasuk Pasal 27 ayat (3).

Keyakinan bahwa melindungi narasumber merupakan bagian dari proses menjaga kemerdekaan pers dalam menjalankan salah satu fungsinya, fungsi kontrol, sudah lebih awal diserukan oleh Dewan Pers.

Melalui Seruan Dewan Pers Nomor :01 /S-DP/IX/2016 tentang Keberatan terhadap Pernyataan Narasumber, Dewan Pers di alenia akhir pernyataan, menyatakan: Untuk menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas, sesuai amanat UU.No. 40/1999 dan KEJ, media memerlukan narasumber. Dengan demikian, narasumber merupakan mata rantai dalam kerja jurnalistik. Menurut hukum pers, setiap pemberitaan menjadi tanggungjawab redaksi, sehingga keberatan atas pernyataan narasumber hendaknya ditujukan kepada penanggungjawab media bersangkutan sepanjang narasumber tersebut kompeten dan kredibel.

Pada saat yang sama, pers harus memegang teguh prinsip bahwa dalam keadaan aapun narasumber wajib dilindungi dan pers harus mengambilalih tanggungjawab itu, kecuali narasumber itu telah berbohong. Pernyataan ini dikeluarkan pada 2 September 2016.

Dengan demikian, dalam kerangka melindungi kemerdekaan pers dari cawe-cawe atau intervensi, maka narasumber media (pers) bukan pihak yang dapat diperkarakan. Maka upaya memperkarakan narsumber pers, merupakan perkara sia-sia. Petanda belum paham aturan hukumnya.

Jika ada sengketa jurnalistik, adukan penanggungjawab persnya, selesaikan melalui mekanisme Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, sebagai lex specialis; datanglah ke Dewan Pers.(adm)

You might also like More from author

Comments are closed.