Pemilu 2024, Pertarungan Rakyat Versus Penguasa
Penulis: Hainis Moedarwin (Mantan Ketua PWI Kota Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara)
MENCERMATI Perkembangan politik tanah air yang terus berubah dari waktu ke waktu, nampaknya kian menarik. Hal yang paling menarik bagi saya, adalah sikap presiden Joko Widodo yang nampak mengendors dua pasangan bakal calon presiden.
Jokowi mencalonkan Ganjar Pranowo dan mencadangkan Prabowo Subianto. Sebagai presiden, sikap Jokowi yang mengendors bakal calon tertentu memang tidak melanggar konstitusi. Akan tetapi, sangat tidak etis, sebab presiden harus menempatkan diri sebagai negarawan, harus memberikan contoh yang baik untuk bangsa dan generasi mendatang.
Karena Jokowi memperlihatkan kesan seperti itu, maka dengan melihat polarisasi yang ada, hampir dipastikan kalau Pemilu 2024 mendatang, hanya akan ada dua kubu yang akan bertarung. Kubu pertama, ada pasangan bakal calon Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto yang diendors pihak penguasa. Kubu kedua ada Bakal calon prsiden Anis Rasyid Baswedan (ARB) yang mendapat endors dari rakyat bukan kader partai dan tidak sedang berkuasa dalam jabatan.
Ini artinya, Anis Rasyd Baswedan akan head to head dengan Penguasa (Penguasa VS Rakyat). Jika melihat fakta yang ada serta hiruk pikuk kontestasi jelang Pemilu, maka peluang besar untuk memenangkan Pilpres ada di kubu Penguasa yakni Ganjar atau Prabowo.
Disamping mereka mempunyai modal yang cukup besar, juga berpeluang mengendalikan atau mengintervensi penyelenggara Pemilu. Sementara Anis Rasyd Baswedan hanya mengandalkan endors dari Rakyat dan dukungan Parpol pengusung. Itu lah yang kemudian kubu Anis menganggap lawan terberat dalam Pilpres adalah penyelengara.
Jika formulasi bakal calon presiden masih tak berubah hingga Pemilu digelar, maka pertarungan dalam Pilpres nanti, adalah ujian berat bagi terciptanya demokrasi yang baik di Indonesia. Sekaligus ujian untuk membuktikan apakah betul kekuasaan itu masih di tangan rakyat ataukah telah berpindah ke tangan Penguasa.
Bagi kalangan milenial dan pemilih cerdas yang menginginkan perubahan, saat ini hampir dipastikan telah menentukan pilihannya. Mereka akan cenderung masuk dan ikut di barisan pendukung Anis Rasyd Baswedan, sebab mereka pasti memilih dengan menggunakan akal sehatnya.
Berbeda dengan pemilih fanatik. Mereka akan cenderung memilih figur selain Anis. Bagi mereka, plus minus atau rekam jejak bakal calon tidak menjadi penting, mereka akan selalu sulit bisa membedakan mana figur yang berkualitas dan mumpuni untuk memimpin bangsa, karena fanatisme bisa membunuh akal sehat mereka.
Pemilih fanatik ada dua model. Ada pemilih fanatik karena mempunyai figur idola tersendiri yang dianggap kharismatik, ada juga pemilih fanatik karena dilandasi beban balas budi. Pemilih dalam kelompok ini sulit untuk dibelokkan pilihannya. Mereka akan mempertahankan pilihannya tanpa menggunakan nurani dan akal sehat.
Mari kita masuk pada peluang kedua kubu. Kubu Ganjar atau Prabowo (Kubu Penguasa) sepertinya terus menerus gelisah, karena tau persis kalau Kubu Rakyat bukan lah lawan remeh temeh. Apalagi setiap kunjungan Anis ke berbagai daerah selalu disambut antusias oleh rakyat kebanyakan.
Kubu yang dimotori penguasa ini tentu saja sangat kuat, karena mereka bisa mendapat dukungan finansial yang besar. Ditambah lagi PDIP sebagai partai pemenang Pemili 2019. Namanya juga incumbent, tentu berada diatas angin dan dalam segala hal pasti unggul, karena menguasai segala lini di republik ini. Itu fakta dan realita saat ini.
Lalu bagaimana peluang kubu Rakyat? Jika kembali mereviw Pemilu 2014, bukan tidak mungkin rakyat sebagai pemegang kekuasaan akan kembali membuat kejutan, sebagaimana rakyat berhasil mengantarkan Joko Widodo jadi presiden pada Pilpres 2014. Tapi, pada pemilu 2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sedang berkuasa tidak mengendors bakal calon tertentu. SBY menujukkan sikap negarawan dengan memberikan keleluasaan Parpol untuk menjalankan demokrasi dengan baik.
Hasilnya, kala itu Joko Widodo dengan kesederhanaannya sangat diinginkan rakyat, bisa memimpin bangsa dan tidak terbendung. Saya termasuk salah satu yang memilih pak Joko Widodo pada Pemilu 2014 itu. Namun, dalam perjalannya, saya sedikit kecewa karena melihat pilihan saya itu, saya anggap kurang konsisten terhadap janji yang sudah disampaikan saat berkampanye.
Pada Pemilu 2019 saya kemudian menitip mandat kepada Prabowo Subianto, tapi garis tangan berbentuk lain. Sebagai muslim yang baik, saya harus nikmati dan patuh pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Di ujung pemerintahannya sekarang, saya lagi lagi kecewa melihat sikap presiden yang katanya cawe cawe dan mengendors dua bakal Capres, yakni Ganjar dan Prabowo.
Tapi, rasannya sangat berlebihan juga kalau sepenuhnya pak Joko Widodo disalahkan. Sebab, beliau juga adalah petugas partai, yang mau tidak mau harus mempunyai sikap yang jelas demi kepentingan PDIP.
Saya memang termasuk yang kecewa pada kepemimpinan Joko Widodo, tapi saya tidak pernah menyerang pribadi pak Joko Widodo. Karena saya tau beliau adalah pemimpin bangsa yang tentu saja berjasa bagi NKRI.
Saya juga ingat betul bahwa kekecewaan saya bermula, ketika presiden tidak sedikitpun memperlihatkan rasa solidaritasnya atas tragedi kemanusian dalam kasus pembunuhan sadis di KM-50. Padahal ada enam nyawa yang hilang sekaligus.
Setiap saat saya harus menonton televisi, menunggu presiden menyampaikan bela sungkawa, tapi sampai detik ini saya belum pernah melihatnya. Berbeda ketika Kasus Sambo, dimana Presiden langsung menyampaikan keprihatinannya. Ya sudahlah, itu masa lalu.
Kembali ke janji kampanye saja. Yang paling saya ingat adalah janji mengembangkan mobil ESMKA. Karena mobil ESMKA itulah yang membuat Joko widodo viral waktu itu. Banyak juga janji yang lainnya, tapi tak usah saya sebut, karena sudah banyak diumbar via media sosial.
Ketika banyak janji kampanye yang belum dipenuhi, rakyat tentu saja merasa kurang atau tidak puas atas kepemimpinan Joko Widodo, dan itu hal yang lumrah. Tapi, situasi seperti ini menyebabkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi mulai menunjukkan sikap berbeda. Sehingga kebanyakan rakyat terlihat mengendors habis habisan sosok Anis Rasyd Baswedan untuk memimpin NKRI melalui Pemilu 2024.
Hampir setip saat saya memantau perkembangan politik tanah air melalui media pers dan lini masa media sosial. Mayoritas rakyat Indonesia cenderung mengunggulkan Anis ketimbang bakal calon lainnya. Dukungan untuk Anis menguat karena alasan yang sangat masuk akal.
Misalnya, Anis dinilai berhasil memimpin DKI Jakrta dalam suasana keberagaman. Anis juga berhasil merealisasikan janji janji kampanyenya. Membangun rumah DP nol rupiah, membangun kembali kampung yang pernah digusur, membebaskan PBB untuk rakyat dan masih banyak prestasi lainnya. Anis juga berhasil membangun JIS menjadi stadion berkelas dunia dengan 100 persen pekerjaannya dilakukan orang Indonesia, sebuah karya anak bangsa yang monumental.
Dengan fakta dan rekam jejak Anis yang begitu mentereng, telah mampu membuka mata mayoritas publik tanah air, bahwa figur Anis Rasyd Baswedan (ARB) adalah sosok yang bisa diandalkan mempin Indonesia melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan maju. Modal utamya Anis tentu saja berprestasi, baik rekam jejak, ada karya nyata dan sangat pupuler.
Modal itu pula yang memotivasi rakyat mendukung Anis mati matian, sekaligus ingin membuktikan bahwa rakyat masih menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam demokrasi.***
Comments are closed.